Sabtu, 13 Oktober 2007

Apa peran YKP ?

NASIB MALANG SEORANG PEJUANG


Tanggal 12 Oktober 2007 disertai seorang putra pejuang I Wyn Terimayasa yang kebetulan ayahnya juga gugur di banjar Badung desa Ayunan dirumah Pan Suteg saya mencoba menelusuri rumah tempat menginapnya Cok Agung Tresna dari Puri Satria sebelum beliau gugur tanggal 29 Juni 1947 ditembak NICA dihalaman belakang rumah Men Luja di banjar dan desa yang sama. Rumah tsb. berdasarkan catanan orang tua saya adalah milik I Racem ( Pan Lodera).

Namun sayang kami tidak dapat menemui sipemilik rumah bahkan juga keturunannya karena menurut para tetangganya, ybs. beserta seluruh keluarganya karena faktor ekonomi dan kemiskinan yang mendera terpaksa harus menjual tanah pekarangannya yang mempunyai nilai hystoris tsb. kepada orang lain untuk ongkos bertransmigrasi / mengadu keberuntungan ke Sulawesi.

Sangat disayangkan seorang pejuang yang pernah disiksa oleh NICA karena berani menampung seorang pejuang sekaliber Cok Agung Tresna yang dalam struktur kepengurusan pejuang saat itu menjabat sebagai pimpinan Markas Badung Pandawa harus menerima nasib seperti itu.

JKP (Jajasan Kebaktian Pejoeang) yang sekarang telah berubah nama menjadi YKP (Yayasan Kebaktian Proklamasi) adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh para tokoh pejuang tanggal 3 Oktober 1951 dengan mendapat fasilitas yang begitu banyak dari pemerintah saat itu karena mempunyai tujuan mulia mengurus para pejuang / putra putri pejuang yang terlantar sebagai ekses revolusi.

Kalau saja yayasan ini mempunyai database yang akurat tentang pejuang dan serius melaksanakan tugasnya sesuai dengan tujuan didirikannya yayasan tsb. tentu saja I Racem tak perlu harus menjual pekarangannya yang bersejarah itu hanya karena alasan terdesak kebutuhan hidup.

Sesungguhnya aset YKP sangatlah banyak, bukan hanya puluhan bahkan ratusan hektar tanah kebun kelapa didaerah Sendang selain tanah produktif dan bangunan yang bisa diberdayakan demi kepentingan pejuang atau keluarga pejuang, karena yayasan tsb. adalah milik pejuang / keluarga pejuang dan bukan milik kelompok apalagi milik dinasti.

Sudah saatnya YKP menata diri dan terbuka memberikan kesempatan kepada auditor independent untuk mengaudit aset aset yang dimiliki sebagai pertanggung jawaban moral kepada para pejuang beserta keluarganya.

Denpasar 14 Oktober 2007

( I Gst Ngr Munang Wirawan )

Jln. A. Yani 177 Denpasar.

Jumat, 07 September 2007

Monumen perjuangan yang diterlantarkan

MONUMEN TONGGAK PERJUANGAN YANG MERANA

Minggu tanggal 26 Agustus 2007 dipandu oleh putra tokoh pejuang dari Sidan I Dw Pt Ceped (alm) saya bersama beberapa rekan sesama anak anak pejuang pergi ke desa Penikit (Belok – Sidan) dengan tujuan utama melihat monumen dan lokasi peretempuran yang kebetulan melibatkan paman saya (alm) sebagai komandan regunya.

Lokasinya memang cukup jauh terletak disebidang tegalan yang tidak datar dengan kemiringan sekitar 30 derajat dimana untuk dapat mencapai lokasi monumen harus sedikit merayap dari pinngir jalan sampai dilokasi melalui semak belukar penuh duri karena tak terlihat jalan setapak yang bisa dilalui.

Setibanya kami dilokasi monumen kami sangat kecewa karena monumennya tak bisa kami jangkau karena dikelilingi oleh tumbuhan semak liar yang agak lebat bahkan monumennya hanya kelihatan ujungnya saja.

Kalau saja para pahlawan yang sudah gugur mempertaruhkan nyawanya demi republik ini bisa menampakkan diri mungkin beliau marah dan menyesal menyaksikan kondisi monumen yang merupakan icon keperkasaan yang diharapkan menjadi kebanggaan para generasi berikutnya diperlakukan hanya sebagai sebuah onggokan batu tanpa makna. Kami sebagai generasi pejuang sangat sedih melihat kondisi ini kalau toh memang pemerintah tak sanggup dan tak mau mengurusnya sebaiknya monumen ini dihancurkan saja agar tak berbekas dari pada dibuat merana seperti itu.

Tidak salah para generasi muda tidak akan berbangga melihat icon icon patriotik seperti ini dan tak mungkin mereka bercita cita menjadi pejuang atau pahlawan kalau melihat realitanya seperti ini. Mereka lebih cenderung menggantungkan cita citanya menjadi pejabat karena akan dihormati dan kemana mana selalu mendapat pengawalan dengan bunyi serine yang meraung raung sekalipun semua orang tahu bahwa jabatan yang mereka dapatkan saat ini adalah buah dari pengorbanan berupa tetesan darah para pejuang dan pahlawan.

Para pahlawan telah memutuskan untuk bertempur demi kemerdekaan bangsanya juga demi masa depan generasinya sekalipun mereka tahu hasilnya akan baru bisa dinikmati oleh generasi berikutnya setelah beliau tiada (anonim).

Masih relevankah ucapan “ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya “ ?

Denpasar, 29 Agustus 2007

( I Gst Ngr Munang Wirawan )

Jln. A. Yani 177 Denpasar.

Kamis, 06 September 2007

Perhatian pada ikon ikon perjuangan

Saat ini perhatian para geberasi muda terkesan kurang menghargai ikon ikon terkait dengan masalah pejuang dan pahlawan. Kita mestinya tak hanya menyalahkan kaum muda saja mengingat para pemimpin yang juga mestinya menjadi panutan tidak memberi contoh yang baik dalam hal ini karenanya para generasi muda terkesan acuh ketika mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Di Bali misalnya ketika kedatangan tamu tamu negara dari negara asing para pejabat tidak mengantar tamunya kemakam pahlawan untuk memberi penghormatan kepada para founding father yang telah berjasa mengantarkan negara kita menjadi negara yang merdeka namun mereka lebih cenderung justru menggiring tamunya ke Groun Zero (monumen Bom Bali) untuk mencitrakan perhatian masyarakat Bali kepada para korban bom agar mendapat empati dengan berorientasi pada kepentingan bussinis.