Jumat, 25 Desember 2009

Kilas Balik Penyerangan tangsi Jepang







Guna menghormati para pahlawan dan pejuang tgl 13 Des 2009 kami dari Forum Komunikasi Putra Putri Pejuang Front Rakyat telah mengadakan acara "Kilas balik penyerangabn tangsi Jepang tgl 13 Des 1945" bertempat di monumen Bangsal Gaji dengan pembawa makalah tunggal saya sendiri dengan para peserta dari unsur LVRI, Menwa, generasi pejuang dan para undangan pemuka masyarakat. Pada kesempatan tsb hadir juga Drs Kt Sudikerta (wabup Badung) yang sangat antusias mengikuti secara saksama paparan demi paparan apalagi beliau baru mengetahui pahlawan pertama di Badung yang mengorbankan jiwanya demi republik ini adalah warganya yakni I Wyn Sakling dari Pecatu. Pada kesempatan itu beliau menjanjikan akan membantu sepenuhnya penerbitan buku Lintasan Perjuangan di Kab. Badung dari segi finansial dimana saat itu draft prosal langsung kami serahkan kpd ybs. dan proposal pormal sudah juga kami serahkan tanggal 23 Des 09 liwat Staf akhli Bidang Pemerintahan (Ir. Kt Mendra). Dialog saat itu sangat gayeng karena dipandu oleh anak pejuang Pro. Windia. Terimakasih pada Pak Bgs Rai atas segala fasilitasnya.

Senin, 23 November 2009

Menghargai pahlawan




Pada hari pahlawan tangggal 10 dan 20 Nop. saya bersama keluarga seperti biasa nyekar menghaturkan sesajen kemakam pahlawan Margarana seperti apa yang kami lakukan tanggal 20 NOP. 2009 yl. Memejamkan mata sejenak mengenangkan segala pengorbanannya demi mempertahankan republik yang kita warisi saat ini. Mari kita itropeksi diri sejauh mana kita telah berbuat untuk mengisi kemerdekaan yang telah dipertahankan oleh para pejuang dan pahlawan kita dengan tetesan darah dan air mata bahkan dengan nyawanya ?

Ada 3 orang keluarga kami yang gugur pada masa perjuangan dulu yakni 2 orang paman saya (keduanya berpangkat kapten anumerta dan seorang ipar saya dengan pangkat sersan mayor)

Selasa, 17 November 2009

MORAL DAN BUDAYA YANG KIAN TERKIKIS

MORAL DAN BUDAYA YANG KIAN TERKIKIS

Betapapun baiknya program kerja tanpa ditunjang oleh moral yang kuat niscaya akan menemui kegagalan bahkan tidak mustahil berakhir pada kehancuran, hilangnya martabat dan harga diri. Kita bisa mengambil hikmah dari para caleg yang kurang siap mental ketika mengalami kegagalan dalam memenuhi ambisinya yang pada akhirnya berujung dirumah sakit gila. Begitu juga para anggota legislatif yang beruntung bisa lolos, bila ybs. tanpa dibentengi oleh moral yang kuat dan terbuai oleh lembaran uang dalam jumlah ratusan juta pasti juga akan berujung tragis dipenjara.
Hal ini tidak terlepas dari perkembangan masyarakat Indonesia baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam atau pun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar telah menyebabkan terjadinya perubahan menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan, juga perubahan strukturil , sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Ini juga sebagai penyebab timbulnya gejala semakin merosotnya nilai-nilai moralitas dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ironisnya nilai-nilai luhur universal yang terkandung dalam Pancasila beserta berbagai landasan hukum yang kita miliki ternyata belum efektif untuk mengkondisikan bangsa kita dalam hidup bermasyarakat secara bermartabat.
Begitu juga soal budaya kita yang sudah terkenal adiluhung, namun terkesan kurang diminati oleh kalangan generasi muda kita. Cobalah kita tanyakan kepada beberapa siswa SLTA, hafalkah mereka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Garuda Pancasila atau teks Pancasila ? Bagaimana mereka memaknai Pancasila ? apalagi mengaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan tak usah dilanjutkan lagi menyangkut nasionalisme. Ketika budaya sudah mulai hilang. Ketika kekayaan negeri sendiri tak ada yang mau mengenali. Ketika harta karun itu hanya menjadi hiasan kertas di dalam sebuah buku bertuliskan "Kebudayaan Indonesia". Ketika tanpa sadar ternyata kitalah yang membuat negeri ini menjadi seperti onggokan sampah.
Kata-kata ganyang Malaysia (dijaman Bung Karno) kembali terlontar baru-baru ini ketika negara tetangga kita Malaysia melakukan penjarahan budaya kita secara besar-besaran. Artefak, Reog Ponorogo, Angklung, Batik, dan lain-lain. Antara sadar dan tidak ramai-ramai kita mengutuk, ramai-ramai kita mengumpat mereka sebagai maling yang harus diadili. Ironis memang kita mengumpat, kita menuntut, kita berdemo tetapi kita lupa berkaca. Kita lebih suka budaya luar daripada budaya negeri sendiri. Kita juga lupa bahwa ternyata kitalah yang menterlantarkan bangsa kita. Budaya-budaya kita. Kekayaan-kekayaan kita, dan semua milik kita yang berharga.
Tentu kita tidak adil kalau hanya menyalahkan generasi muda saja tanpa mau intropeksi diri. Mari kita dengarkan dialog seorang cewek dengan seorang sopir microlet tentang pendidikan gratis dalam tayangan dibeberapa TV yang lebih berbangga menggunakan dialek / intonasi melayu Malaysia ketimbang dialek Indonesia, bukankah itu produk Departemen Pendidikan Nasional yang menangani masalah pendidikan moral dan budaya ? Salah satu contoh yang tak perlu ditiru.
Sebagai rakyat kita sangat berharap para calon pemimpin bangsa yang saat ini sedang giat menjalin koalisi (bukan isi kuali) demi menggapai sebuah kekuasaan dengan dalih demi kepentingan rakyat tidak lupa akan hal-hal tsb. diatas dan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, utuhnya NKRI, Pancasila dan UUD 45 dan jangan lagi mengorbankan rakyat yang sudah sangat menderita ini.
Denpasar, 30 April 2009


HORMAT PADA PAHLAWAN DAN PEJUANG

Sebagai ahli waris sah bangsa ini, kita layak dan berhak mendapatkan segala sesuatu yang diwariskan oleh para pendahulu dan pendiri republik ini yang sudah mengorbankan harta bahkan nyawanya demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Namun, selain menikmati segala fasilitas yang memang patut kita dapatkan sebagai ahli waris, kita juga punya tanggung jawab dan kewajiban yang tidak kecil karena kita sudah diberikan wasiat oleh para pahlawan agar dapat meneruskan cita cita mereka, yakni menuju Indonesia Jaya, adil dan makmur, menjaga tetap utuhnya NKRI atas dasar Pancasila dan UUD 45 yang juga merupakan cita cita proklamasi.
Tanggung jawab kita sebagai generasi penerus bangsa kian terasa manakala kita merenung sejenak dihadapan pusara dan batu nisan para founding fathers kita yang saat ini sedang membisu dan kita tak akan pernah mampu membangunkan mereka lagi untuk dimintai penjelasan tentang sejarah perjuangannya dimasa lalu, dan untuk itulah sejarah perjuangan ini perlu dibukukan agar dapat dibaca dan diketahui oleh generasi yang akan datang untuk membangkitkan rasa hormat terhadap para pahlawan dan pejuang.
Kita tak mungkin bisa membangunkan mereka (pahlawan) untuk mengangkat senjata (berjuang) kembali untuk memberantas segala kebohongan dan kemunafikan yang dilakukan oleh segelintir manusia dinegeri yang mereka perjuangkan ini, kecuali memberi makna dibalik kebisuan batu nisan dan sejarah masa lampau.
Memang sejarah adalah masa lalu, sejarah semata mata adalah kumpulan peristiwa, tetapi bilamana dihayati secara mendalam dibalik peristiwa yang terjadi, terkandung berbagai pesan yang harus dilaksanakan. Pesan pesan tersebut akan menjadi kian berarti oleh karena yang memberi pesan sudah tiada, alias sudah anonim. Artinya kita sedapat mungkin, bahkan harus melaksanakan amanat itu, sebab kepada kitalah tanggung jawab itu dipercayakan.
Mengacu kepada hal hal tsb. diatas untuk memaknai hari Pahlawan 10 dan 20 Nopember 2009 sebagai generasi penerus sudah selayaknya kita intropeksi diri “Apa yang kita telah lakukan sebagai wujud rasa hormat kita padanya ?”
Tentu kita sangat bersedih mendengar informasi yang disampaikan oleh salah seorang pengurus Mada LVRI Bali bahwa hanya Bali saja propinsi yang belum memiliki dan belum mampu mengirim Buku Perjuangan ke Jakarta. Ini merupakan tantangan serius bagi generasi muda terutama generasi pejuang, sebab dampaknya generasi yang akan datang tidak akan mengetahui siapa sesungguhnya yang berjuang disamping dampak lainnya akan memungkinkan munculnya veteran veteran bahkan pahlawan pahlawan baru yang sama sekali tak mengerti tentang heroiknya perjuangan di Bali.
Semoga hal ini mendapat perhatian dari pemerintah daerah karena saat ini untuk menyusun sebuah buku perjuangan memerlukan dana yang tak sedikit apalagi pelaku sejarah tingkat pimpinan yang bisa dimintai konfirmasi sudah tak ada lagi.


Denpasar 10 Nopember 2009.

Minggu, 15 November 2009

Audensi dengan panglima Kodam IX Udayana


Menjelang diadakan deklarasi Forum Komunikasi LVRI-PEPABRI-PWRI Prop. Bali tanggal 6 Nopember 2009 yang dilanjutkan dengan seminar sehari, pada tanggal 5 Nopember 2009 kami mengadakan audensi dengan panglima Kodam IX Udayana.
Forum ini adalah gabungan dari 3 institusi para Veteran dan para pensiunan ABRI / Polri dan pensiunan birokrasi yang sekretariatnya berlokasi di Gedung Merdeka Lantai II Jln Surapati No. 7 Telp. (0361)-243245 Denpasar Bali dimana saya dipercaya sebagai sekretarisnya.

Selasa, 20 Oktober 2009

PERTEMUKAN KELUARGA PAHLAWAN DENGAN INTI BALI







MEMPERTEMUKAN KELUARGA PAHLAWAN 6 DESA DENGAN ANGGOTA INTI BALI.

Terkait dengan perayaan IMLEK yang dilaksanakan oleh rekan dari INTI Bali yang dikomandani oleh Cahaya Wirawan Hadi, pada tanggal 2 pebruari 2009 saya telah berhasil menghadirkan 23 orang keluarga pahlawan dari 6 desa seputar Monumen Blahkiuh yakni desa Blahkiuh, Punggul, Bongkasa, Taman, Selat, dan Sangeh. Sebagai ucapan terimakasih pada pahlawan fihak INTI Bali telah memberikan tali kasih berupa sembako dan keperluan lainnya disamping amplop berisi uang masing masing sebesar Rp. 250.000,--
Pertemuan tsb. dikemas dengan sangat apik dilengkapi pula dengan hiburan musik tunggal yang dilakukan oleh anak anak etnis Tionghwa dengan membawakan lagu lagu pujian untuk pahlawan, selain lagu lagu bebas yang dilakukan oleh peserta pertemuan yang saat itu dihadiri oleh team dokter yang melakukan pengabdian dengan melaksanakan pengobatan gratis kepada masyarakat dan keluarga pahlawan, juga oleh veteran, pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Bali dan para Kepala desa dan Camat.
Pada kesempatan tsb. dimanfaatkan pula oleh I Wyn Terimayasa (putra pahlawan I Md Regug) untuk menyanyikan sebuah lagu “Ayah” yang dipersembahkan kepada ayahndanya tercinta. Sebagai pemrakarsa mewakili putra putri pejuang dan pahlawan saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh anggota INTI Bali yang hadir. Acara ini diliput oleh media cetak dan media eletronik dimana pada kesempatan tsb. saya yang didampingi oleh ketua INTI Bali Cahaya Wirawan Hadi dan penasehat INTI Prof. Wyn Windia diwawancarai oleh crew TV dan juga oleh beberapa wartawan.










MEMPERINGATI HARI PAHLAWAN 10 NOP. 2008 DAN 20 NOP. 2008

Terkait dengan perayaan hari pahlawan 10 Nopember dan hari puputan Margarana 20 Nopember 2008 kami melakukan pengobatan gratis kepada masyarakat desa Pungggul dan sekitarnya yang mengambil lokasi dirumah saya di banjar Kelodan desa Punggul. Sekitar 450 orang masyarakat desa Punggul dan sekitarnya membanjiri lokasi pengobatan gratis yang dilakukan oleh sekitar 7 orang dokter diantaranya 3 orang dokter spesialis dengan bantuan obatan – obatan dari sebuah yayasan dari Korea Selatan.
Pelayanan penyambutan dan memberian obatan obatan dilakukan dengan langsung oleh team dari Korsel tsb. dengan sangat ramah dan memuaskan.
Disamping melalui pelayanan yang sangat memuaskan para pasien juga disuguhi snack untuk dibawa pulang kerumahnya masing – masing.
Pada malam harinya kami mengadakan sarasehan dengan sekitar 350 orang mahasisiswa dan siswa SMA dari seluruh Bali yang malam itu bermalam dirumah saya dan dirumah penduduk didesa Punggul dan Blahkiuh.
Poelaksanaan seminar dilakukan diwantilan desa Punggul yang dihadiri pula oleh perangkat desa Punggul. Sebelum melaksanakan sarasehan para peserta napak tilas melakukan sembahyang bersama di Pura Desa Punggul. Ceramah diawali oleh pembicara ( saya sendiri) dilanjutkan oleh rekan Prof Windia (anak pejuang) selanjutnya oleh I Gst Rai Susandi (veteran) dan terakhir oleh Md Adi Susila (anak pejuang).
Esok paginya acara dilanjutkan dengan napak tilas dengan mengambil start dari Monumen Blah kiuh – Sangeh – Selat – Punggul dan terakhir kembali dan bubar di Monumen Blahkiuh. Lintasan yang dipilih adalah lintasan yang meliwati beberapa lokasi penting seperti lokasi penyergapan NICA untuk pertama kalinya tgl. 2 Maret 46 disebelah utara desa Blahkiuh, lokasi penyergapan NICA deselatanan desa Sangeh dengan menggunakan ranjau darat / main, penyergapan HP dikuburan Samuan Kangin yang menyebabkan 2 orang HP mati dan seorang ditangkap hidup hidup oleh paejuang yang dipimpin Oleh I Gst Komp. Regig Sugriwa dari Punggul, dan terakhir melewati tempat eksekusi 3 orang pejuang A A Alit Reta, I Nym Kantun dan I Gst Pt Pegil yang lokasinya didepan rumah Biang Basug didesa Selat.

Jumat, 16 Oktober 2009

RAKYAT MENDAMBAKAN “THE LIVING LEADER”

Menjelang pergantian pimpinan daerah biasanya sudah mulai bertebaran promosi pujian tentang kehebatan dan superioritas seorang calon baik liwat baliho maupun liwat media koran maupun TV. Para kandidat terkesan begitu baik hati menyatu dengan rakyat sepertinya tiada jarak antar mereka. Biasanya masa pemanjaan masyarakat seperti ini tak lebih dari 3 bulan saja selebihnya 57 bulan lagi jangan harap bisa ketemu para pejabat bahkan no. HPnya pun langsung berubah. Banyak yang berteori tinggi bahwa jika akan menjadi pemimpin seorang kandidat harus minimal S1 (sarjana), harus kompeten / capable, harus cerdas, harus berpengalaman harus berpengetahuan luas. Apalagi harus berpenampilan meyakinkan (tidak cacat). dst. dst.
Dalam pandangan saya teori yang serba “harus” itu sifatnya personality dari sisi luar ke dalam (outside in) yang saat ini sudah kurang layak jual. Sudah saatnya digantikan oleh prinsip-prinsip baru. Prinsip dari dalam keluar (inside out).
Belajar dari pengalaman yang lalu semua keharusan itu nyatanya tidak atau kurang relevan lagi. Jika dibandingkan dengan keharusan yang lebih fundamental yaitu hati yang bersih (jujur), jiwa yang besar (murah hati), dan budi pekerti yang mulia (moral dan martabat).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa para pemimpin / wakil rakyat kita yang ternyata banyak diterpa kasus kasus yang tak terpuji bukannya karena kurang pandai melainkan kurang punya moral. Pemimpin masa kini dan masa depan yang dibutuhkan masyarakat adalah pemimpin yang hatinya untuk rakyat (inside out). Pemimpin yang "hidup" di dalam. Maka yang keluar darinya adalah segala yang hidup, kebaikan dan kemuliaan.
Jika ia ingin kaya, rakyatnya dulu harusnya yang dibuat kaya. Jika ia ingin sejahtera rakyatnya dulu yang dibuat sejahtera. Jika ia ingin meraih sukses rakyatnya dulu yang dibuat sukses dst. Rakyatlah yang harus dimuliakan. Jangan sebaliknya hak rakyat yang dirampas oleh pemimpin. Lihatlah ketika seorang pejabat sekalipun hanya setingkat daerah jika sedang berkendaraan semua jalan mesti steril, sirine mobil pengawal membahana ke udara. Kendaraan rakyat jelata mesti menepi menunggu kendaraan sang pejabat tersebut lewat.
Ketika Mahathir Mohammad masih menjadi PM Malaysia ia dapat berjalan dengan santai menemui rakyatnya sambil berbelanja di Kuala Lumpur City Center tanpa pengawalan super ketat VVIP.
Di Inggris misalkan, sudah menjadi tradisi para anggota parlemen menggunakan transportasi umum untuk pergi ngantor. Perilaku yang sama juga ditunjukkan para anggota parlemen di Singapura. Bahkan, di Singapura ada sebuah program yang merupakan sebuah tradisi dan harus dilakukan oleh para anggota parlemen. Program tersebut adalah program meet the people.
Seorang pemimpin bangsa yang humble heart (rendah hati dan legowo) seperti Mahatma Gandhi dari India karena didera diskriminasi dan ketidakadilan oleh penguasa, hati dan jiwanya tertantang. Dari titik itulah Gandhi mulai melayani rakyatnya. Mempersembahkan hidupnya bagi orang lain. Meyakininya dengan teguh. Memperjuangkannya dengan gigih, ulet, dan tekun. Ahimsanya adalah wujud dari cintanya dan pengorbanannya yang besar bagi rakyatnya. Beliau tak pernah merasa mengalahkan siapapun tetapi musuh musuhnya mengakui kemenanggannya. Bahkan beliau tak pernah mau ditawari kursi PM India hingga ia meninggal 30 Januari 1948.
Barack Obama presiden Amerika ( type Hight Hope dan Huge Result) bukanlah berasal dari keluarga kalangan atas, dia menapak kariernya dari bawah, bergerak dari bidang sosial kemasyarakatan blusukan kedaerah daerah kumuh. Dalam sebuah situs online disebutkan bahwa setelah menyelesaikan Bachelors of Arts Obama mengelola proyek nirlaba kemudian menyusun program pelatihan kerja bagi penduduk yang tinggal di lingkungan miskin. Tugas Obama antara lain mendatangi rumah satu per satu guna mendata berbagai permasalahan warga. Mulai dari perkara selokan mampet, air ledeng cuma menetes, sampai bagaimana caranya mengatasi persoalan pelacuran.
Tidak mudah karena Obama lebih banyak ditolak daripada dipersilakan masuk rumah. Bahkan diusir dan dimaki-maki. Sejarah kemudian mencatat Obama sukses menambah jumlah organisasi anti kenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan dan menyusun keamanan mandiri. Harvard Law School pun menawari bea siswa kepadanya. Kemudian berbekal kemampuannya menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan karir politik Obama terus menanjak perlahan-lahan sampai akhirnya ia terpilih sebagai presiden pertama di Amerika Serikat yang berkulit hitam.
Ada orang berpendapat bahwa Indonesia adalah negara unique, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi yang mesti mendapat prioritas pelayanan utama justru menjadi pelayan pejabat dan wakil yang dipilihnya.
Pada akhirnya itulah yang tergambar dari pandangan seorang Indonesianis Benedict Anderson, Is Indonesian Nationalism Unique? Apakah Nasionalisme Indonesia Unik? jawabnya tidak, yang unik adalah perilaku elit politik bangsa yang terkadang bak pepatah kacang lupa akan kulitnya.

Denpasar, 9 Oktober 2009


( I Gst Ngr Munang Wirawan )
Jln. A. Yani 177 Denpasar.

MELAWAN MITOS

PERJUANGAN PEMUDA MELAWAN MITOS
Dalam memaknai hari Sumpah Pemuda 28 Oktober sudah merupakan kewajiban bagi setiap pemuda bahkan setiap entitas bangsa Indonesia melanjutkan proses renaissance Bangsa Indonesia demi tercapainya masyarakat adil dan makmur sesuai dengan harapan para founding fathers kita.
Pasalnya, kelompok pemuda sebagai salah satu fase kehidupan manusia yang didominasi oleh aktivitas pencarian jati diri memiliki karakter ideal sebagai barisan pendobrak. yang pantang menyerah, teguh pada prinsip, dan giat berkomunitas. Sejarah dunia juga mencatat kelompok gerakan pemuda merupakan ikon perubahan zaman. Setiap fase perubahan tata kehidupan di muka bumi ini cenderung didominasi munculnya oleh aktivitas kelompok pemuda.
Dalam konteks Indonesia saat ini tujuan gerakan pemuda bukan hanya merekatkan kembali keping-keping semangat kebangsaan, menyempurnakan, bahkan juga harus menanamkannya kembali ke dada setiap manusia Indonesia.
Untuk mencapai kondisi tersebut maka kelompok pemuda dituntut memiliki kemampuan untuk mempresentasikan tujuannya kepada rakyat dalam upaya mentransformasikan tujuan tsb. menjadi tujuan segenap entitas bangsa yang akan mewujudkan tindakan kolektif dalam pencapaian Indonesia Raya.
Konkritnya dari tujuan tsb. adalah keharusan kelompok pemuda untuk mendekontruksikan mitos pasar, parpol, dan uang (gaya hidup pragmatisme) yang telah berurat akar di benak masyarakat Indonesia. Ketiga mitos tsb. merupakan pangkal dan sumber melunturnya rasa kebangsaan, dengan cara melemahkan kehendak untuk maju bersama, menipiskan solidasritas sosial, dan mengikis cita-cita bersama sebagai bangsa.
Paling tidak ada empat kerja strategis kelompok pemuda yang harus dilakukan dalam mendekontruksi mitos-mitos tersebut. Yaitu:
Menciptakan gagasan secara terbuka dan diterima secara legal organisasi, komunitas, dan kelompok.
Memiliki akses terhadap media.
Terlibat secara intens dalam perjuangan pro kerakyatan yang sedang berlangsung sebagai kekuatan independen.
Melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat.
Tentunya pencapaian tujuan tersebut tidak dapat dikatakan mudah. Pasalnya, pemuda bukan sekedar melakukan dekontruksi mitos ke luar tetapi juga yang membelenggu dirinya sendiri. Tak bisa dipungkiri kalau kelompok pemuda pun kadang kadang masih diidentikkan dengan mitos-mitos negatif tertentu. Seperti:
Keras kepala
Terlalu percaya diri.
Grasa-grusu.
Ambisius.
Belum matang sebagai manusia dewasa.

Dengan demikian cara yang bijak adalah tetap bergerak. Sekaligus mematahkan mitos-mitos tersebut dengan melakukan tindakan-tindakan nyata di masayarakat. Hal ini untuk menghindari agar perjuangan kelompok muda tidak semakin dijuluki NATO (Not Act Talk Only), tidak sabaran, dan konyol. Semoga !!
Denpasar, 15 Oktober 2009


I Gst Ngr Munang Wirawan
Jln. A. Yani 177 Denpasar

Kamis, 26 Maret 2009

MENENTUKAN PILIHAN

KRETERIA DALAM MENENTUKAN PILIHAN


Dengan adanya keputusan MK tentang penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak mengakibatkan banyak caleg yang semula tenang tenang saja ikut menjadi khawatir, terutama para caleg kelas “jenggot” yang berakar diatas.
Bagi caleg yang memang mengakar di grass root tentu tidak ada masalah karena dari awal mereka memang sudah menyatu dengan konstituennya.
Dampak dari kondisi seperti ini timbul penomena banyaknya caleg yang sangat rajin turun kebawah sepertinya berserah diri kepada masyarakat dimana hal tsb. sebelumnya sama sekali tak pernah mereka lakukan bahkan kenalpun tidak.
Mereka berusaha mengambil hati masyarakat hanya demi pilcaleg mendatang, padahal mengambil hati masyarakat tidak bisa dilakukan secara instan (to win the heart of the people perlu bukti dalam kurun waktu tertentu, bukan secara singkat dan pragmatis).
Yang paling aneh adalah caleg yang dapilnya bukan ditempat dia bermasyarakat selama ini, bagaimana mungkin masyarakat tahu prilaku serta sifat sang caleg selama ini karena itu merupakan kreteria utama untuk menjatuhkan sebuah pilihan.
Usaha memasang baliho serta slogan slogan didaerah yang bukan lingkungan habitat sicaleg bisa jadi berdampak kontra produktif menimbulkan ketersinggungan masyarakat lingkungannya. Begitu juga dengan adanya caleg AMPIBI (anak, menantu, ponakan, ipar, besan, istri) justru menimbulkan kesan sifat hedonis sipepimpin partai, yang memberi kesan dimasyarakat mereka bukan berusaha membesarkan partainya tetapi justru membesarkan keluarganya dengan memperalat partai.
Menurut seorang pengamat politik dari LIPI semua sepak terjang pembangunan image itu bisa terjadi karena para caleg melakukannya hanya untuk dirinya sendiri. Ia menyebutnya sebagai gejala politik narsis, karena ternyata menurut riset yang ada sampai saat ini 80% pemilih tidak pernah tahu siapa calonnya.
Pada akhirnya, para politisi tersebut bak para pemuas diri.
Mereka bikin spanduk atau baliho sendiri, dilihat sendiri, difoto sendiri dan jangan-jangan yang memilih hanya dirinya sendiri. Sikap memuja diri sendiri, kagum terhadap dirinya, dan merasa besar sendiri inilah yang sering disebut dengan narsism. Atau dalam basa gaul disebut narsis. Padahal kebaikan itu muncul karena adanya karya nyata. Bukan akibat dari sekedar publikasi.
Kalau anda bingung menentukan pilihan karena diantara caleg didapil anda tidak anda kenal rekam jejaknya selama ini barangkali anda sependapat dengan saya untuk menjatuhkan pilihan pada caleg yang paling sedikit publikasi dari partai yang saya yakini dapat mengantarkan kesejahteraan masyarakat. Bisa jadi itulah caleg yang berhati ikhlas.



Denpasar, 24 Maret 2009

Selasa, 03 Maret 2009

PUTRA PAHLAWAN


Ketika kita mendengar kata “pahlawan” kita sudah pasti terbayang sosok patriotik nan pemberani yang dalam kiprah perjuangannya mampu “melampaui dirinya” dalam pengertian ia tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga melakukan sesuatu / berjuang untuk orang lain seperti apa yang dilakukan oleh para pejuang kita. Mereka paham betul bahwa apa yang mereka lakukan hasilnya tidak akan bisa mereka nikmati sendiri namun akan dinikmati oleh generasi penerusnya.
Sebagai generasi penerus bangsa wajarlah kita angkat topi memberikan penghormatan kepada para pahlawan dan pejuang karena tanpa beliau barangkali kemerdekaan seperti saat ini mustahil bisa kita nikmati. Bukan hanya pahlawan saja yang mesti mendapat perhatian khusus, namun keluarganyapun selayaknya mendapat perlakuan yang layak (namun tidak perlu memanjakan apalagi mengkultus berlebihan), termasuk janda pahlawan (tentunya janda yang tidak kawin lagi dengan orang lain yang secara yuridis formal maupun secara adat secara otomatis menghilangkan status janda pahlawannya).
Namun ketika saya menemui seorang anak pahlawan yang namanya I Gst Pt Daris dari desa Taman Abiansemal, bayangan perlakuan khusus terhadap seorang putra pahlawan seperti tsb. diatas menjadi sirna. Betapa tidak, ketika ayahnya gugur ditembak NICA di pangkung Tegallingkuh keluarga ini terusir dari rumahnya di br. Raketan dan terpaksa harus memondok di tegal Jabajero. Saya tidak tahu kenapa mereka harus tercabut dari rumah asalnya, namun yang jelas saat itu tak ada penguasa yang mau dan berani memihak kepada keluarga penyingkiran (pejuang).
Ketika saya mencoba menemuinya saya mesti berjalan kaki sekitar 300 mtr. melalui sebuah gang sempit yang becek (sepertinya lintasan sapi menuju persawahan) dimana akhirnya saya tiba disebuah pondok kecil yang sangat sederhana beratapkan daun kelapa dengan lantai tanah. Saya bersyukur saat itu dapat bertemu dengannya karena dia baru saja datang dari pondoknya di br. Tektek Peguyangan ditempat mana dia melakukan pekerjaannya sebagai petani penggarap tanah orang lain yang memaksanya untuk memondok disitu untuk bisa sekedar menghemat biaya transpotasi.
Saya panggil dia dengan nama kecilnya disaat kami pernah bersama tinggal dirumahnya saat kami nyingkir bersama seluruh keluarga saya setelah rumah saya di Punggul dibakar dan diratakan NICA. Dia memperhatikan saya dengan saksama lalu manjawab : “Ngurah ya”, saya jawab “ya” dia sepertinya tak bisa lagi meneruskan kata katanya mungkin karena terharu kami masih bisa bertemu lagi setelah lebih dari 62 tahun berpisah. Kenangan masa lalu saat bakar ketela dan mencari jangkrik bersama terbayang lagi dipikiran saya.
Barangkali kalau saja arwah orang tuanya bisa menampakkan diri dia akan menangis melihat kenyataan ini. Siapa yang perduli ? Bukankah dia juga anak seorang pahlawan ? Apa peran YKP ? Bagaimana pemerintah ?


Denpasar, 3 Maret 2009