Jumat, 16 Oktober 2009

RAKYAT MENDAMBAKAN “THE LIVING LEADER”

Menjelang pergantian pimpinan daerah biasanya sudah mulai bertebaran promosi pujian tentang kehebatan dan superioritas seorang calon baik liwat baliho maupun liwat media koran maupun TV. Para kandidat terkesan begitu baik hati menyatu dengan rakyat sepertinya tiada jarak antar mereka. Biasanya masa pemanjaan masyarakat seperti ini tak lebih dari 3 bulan saja selebihnya 57 bulan lagi jangan harap bisa ketemu para pejabat bahkan no. HPnya pun langsung berubah. Banyak yang berteori tinggi bahwa jika akan menjadi pemimpin seorang kandidat harus minimal S1 (sarjana), harus kompeten / capable, harus cerdas, harus berpengalaman harus berpengetahuan luas. Apalagi harus berpenampilan meyakinkan (tidak cacat). dst. dst.
Dalam pandangan saya teori yang serba “harus” itu sifatnya personality dari sisi luar ke dalam (outside in) yang saat ini sudah kurang layak jual. Sudah saatnya digantikan oleh prinsip-prinsip baru. Prinsip dari dalam keluar (inside out).
Belajar dari pengalaman yang lalu semua keharusan itu nyatanya tidak atau kurang relevan lagi. Jika dibandingkan dengan keharusan yang lebih fundamental yaitu hati yang bersih (jujur), jiwa yang besar (murah hati), dan budi pekerti yang mulia (moral dan martabat).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa para pemimpin / wakil rakyat kita yang ternyata banyak diterpa kasus kasus yang tak terpuji bukannya karena kurang pandai melainkan kurang punya moral. Pemimpin masa kini dan masa depan yang dibutuhkan masyarakat adalah pemimpin yang hatinya untuk rakyat (inside out). Pemimpin yang "hidup" di dalam. Maka yang keluar darinya adalah segala yang hidup, kebaikan dan kemuliaan.
Jika ia ingin kaya, rakyatnya dulu harusnya yang dibuat kaya. Jika ia ingin sejahtera rakyatnya dulu yang dibuat sejahtera. Jika ia ingin meraih sukses rakyatnya dulu yang dibuat sukses dst. Rakyatlah yang harus dimuliakan. Jangan sebaliknya hak rakyat yang dirampas oleh pemimpin. Lihatlah ketika seorang pejabat sekalipun hanya setingkat daerah jika sedang berkendaraan semua jalan mesti steril, sirine mobil pengawal membahana ke udara. Kendaraan rakyat jelata mesti menepi menunggu kendaraan sang pejabat tersebut lewat.
Ketika Mahathir Mohammad masih menjadi PM Malaysia ia dapat berjalan dengan santai menemui rakyatnya sambil berbelanja di Kuala Lumpur City Center tanpa pengawalan super ketat VVIP.
Di Inggris misalkan, sudah menjadi tradisi para anggota parlemen menggunakan transportasi umum untuk pergi ngantor. Perilaku yang sama juga ditunjukkan para anggota parlemen di Singapura. Bahkan, di Singapura ada sebuah program yang merupakan sebuah tradisi dan harus dilakukan oleh para anggota parlemen. Program tersebut adalah program meet the people.
Seorang pemimpin bangsa yang humble heart (rendah hati dan legowo) seperti Mahatma Gandhi dari India karena didera diskriminasi dan ketidakadilan oleh penguasa, hati dan jiwanya tertantang. Dari titik itulah Gandhi mulai melayani rakyatnya. Mempersembahkan hidupnya bagi orang lain. Meyakininya dengan teguh. Memperjuangkannya dengan gigih, ulet, dan tekun. Ahimsanya adalah wujud dari cintanya dan pengorbanannya yang besar bagi rakyatnya. Beliau tak pernah merasa mengalahkan siapapun tetapi musuh musuhnya mengakui kemenanggannya. Bahkan beliau tak pernah mau ditawari kursi PM India hingga ia meninggal 30 Januari 1948.
Barack Obama presiden Amerika ( type Hight Hope dan Huge Result) bukanlah berasal dari keluarga kalangan atas, dia menapak kariernya dari bawah, bergerak dari bidang sosial kemasyarakatan blusukan kedaerah daerah kumuh. Dalam sebuah situs online disebutkan bahwa setelah menyelesaikan Bachelors of Arts Obama mengelola proyek nirlaba kemudian menyusun program pelatihan kerja bagi penduduk yang tinggal di lingkungan miskin. Tugas Obama antara lain mendatangi rumah satu per satu guna mendata berbagai permasalahan warga. Mulai dari perkara selokan mampet, air ledeng cuma menetes, sampai bagaimana caranya mengatasi persoalan pelacuran.
Tidak mudah karena Obama lebih banyak ditolak daripada dipersilakan masuk rumah. Bahkan diusir dan dimaki-maki. Sejarah kemudian mencatat Obama sukses menambah jumlah organisasi anti kenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan dan menyusun keamanan mandiri. Harvard Law School pun menawari bea siswa kepadanya. Kemudian berbekal kemampuannya menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan karir politik Obama terus menanjak perlahan-lahan sampai akhirnya ia terpilih sebagai presiden pertama di Amerika Serikat yang berkulit hitam.
Ada orang berpendapat bahwa Indonesia adalah negara unique, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi yang mesti mendapat prioritas pelayanan utama justru menjadi pelayan pejabat dan wakil yang dipilihnya.
Pada akhirnya itulah yang tergambar dari pandangan seorang Indonesianis Benedict Anderson, Is Indonesian Nationalism Unique? Apakah Nasionalisme Indonesia Unik? jawabnya tidak, yang unik adalah perilaku elit politik bangsa yang terkadang bak pepatah kacang lupa akan kulitnya.

Denpasar, 9 Oktober 2009


( I Gst Ngr Munang Wirawan )
Jln. A. Yani 177 Denpasar.

Tidak ada komentar: