Selasa, 17 November 2009

MORAL DAN BUDAYA YANG KIAN TERKIKIS

MORAL DAN BUDAYA YANG KIAN TERKIKIS

Betapapun baiknya program kerja tanpa ditunjang oleh moral yang kuat niscaya akan menemui kegagalan bahkan tidak mustahil berakhir pada kehancuran, hilangnya martabat dan harga diri. Kita bisa mengambil hikmah dari para caleg yang kurang siap mental ketika mengalami kegagalan dalam memenuhi ambisinya yang pada akhirnya berujung dirumah sakit gila. Begitu juga para anggota legislatif yang beruntung bisa lolos, bila ybs. tanpa dibentengi oleh moral yang kuat dan terbuai oleh lembaran uang dalam jumlah ratusan juta pasti juga akan berujung tragis dipenjara.
Hal ini tidak terlepas dari perkembangan masyarakat Indonesia baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam atau pun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar telah menyebabkan terjadinya perubahan menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan, juga perubahan strukturil , sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Ini juga sebagai penyebab timbulnya gejala semakin merosotnya nilai-nilai moralitas dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ironisnya nilai-nilai luhur universal yang terkandung dalam Pancasila beserta berbagai landasan hukum yang kita miliki ternyata belum efektif untuk mengkondisikan bangsa kita dalam hidup bermasyarakat secara bermartabat.
Begitu juga soal budaya kita yang sudah terkenal adiluhung, namun terkesan kurang diminati oleh kalangan generasi muda kita. Cobalah kita tanyakan kepada beberapa siswa SLTA, hafalkah mereka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Garuda Pancasila atau teks Pancasila ? Bagaimana mereka memaknai Pancasila ? apalagi mengaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan tak usah dilanjutkan lagi menyangkut nasionalisme. Ketika budaya sudah mulai hilang. Ketika kekayaan negeri sendiri tak ada yang mau mengenali. Ketika harta karun itu hanya menjadi hiasan kertas di dalam sebuah buku bertuliskan "Kebudayaan Indonesia". Ketika tanpa sadar ternyata kitalah yang membuat negeri ini menjadi seperti onggokan sampah.
Kata-kata ganyang Malaysia (dijaman Bung Karno) kembali terlontar baru-baru ini ketika negara tetangga kita Malaysia melakukan penjarahan budaya kita secara besar-besaran. Artefak, Reog Ponorogo, Angklung, Batik, dan lain-lain. Antara sadar dan tidak ramai-ramai kita mengutuk, ramai-ramai kita mengumpat mereka sebagai maling yang harus diadili. Ironis memang kita mengumpat, kita menuntut, kita berdemo tetapi kita lupa berkaca. Kita lebih suka budaya luar daripada budaya negeri sendiri. Kita juga lupa bahwa ternyata kitalah yang menterlantarkan bangsa kita. Budaya-budaya kita. Kekayaan-kekayaan kita, dan semua milik kita yang berharga.
Tentu kita tidak adil kalau hanya menyalahkan generasi muda saja tanpa mau intropeksi diri. Mari kita dengarkan dialog seorang cewek dengan seorang sopir microlet tentang pendidikan gratis dalam tayangan dibeberapa TV yang lebih berbangga menggunakan dialek / intonasi melayu Malaysia ketimbang dialek Indonesia, bukankah itu produk Departemen Pendidikan Nasional yang menangani masalah pendidikan moral dan budaya ? Salah satu contoh yang tak perlu ditiru.
Sebagai rakyat kita sangat berharap para calon pemimpin bangsa yang saat ini sedang giat menjalin koalisi (bukan isi kuali) demi menggapai sebuah kekuasaan dengan dalih demi kepentingan rakyat tidak lupa akan hal-hal tsb. diatas dan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, utuhnya NKRI, Pancasila dan UUD 45 dan jangan lagi mengorbankan rakyat yang sudah sangat menderita ini.
Denpasar, 30 April 2009


HORMAT PADA PAHLAWAN DAN PEJUANG

Sebagai ahli waris sah bangsa ini, kita layak dan berhak mendapatkan segala sesuatu yang diwariskan oleh para pendahulu dan pendiri republik ini yang sudah mengorbankan harta bahkan nyawanya demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Namun, selain menikmati segala fasilitas yang memang patut kita dapatkan sebagai ahli waris, kita juga punya tanggung jawab dan kewajiban yang tidak kecil karena kita sudah diberikan wasiat oleh para pahlawan agar dapat meneruskan cita cita mereka, yakni menuju Indonesia Jaya, adil dan makmur, menjaga tetap utuhnya NKRI atas dasar Pancasila dan UUD 45 yang juga merupakan cita cita proklamasi.
Tanggung jawab kita sebagai generasi penerus bangsa kian terasa manakala kita merenung sejenak dihadapan pusara dan batu nisan para founding fathers kita yang saat ini sedang membisu dan kita tak akan pernah mampu membangunkan mereka lagi untuk dimintai penjelasan tentang sejarah perjuangannya dimasa lalu, dan untuk itulah sejarah perjuangan ini perlu dibukukan agar dapat dibaca dan diketahui oleh generasi yang akan datang untuk membangkitkan rasa hormat terhadap para pahlawan dan pejuang.
Kita tak mungkin bisa membangunkan mereka (pahlawan) untuk mengangkat senjata (berjuang) kembali untuk memberantas segala kebohongan dan kemunafikan yang dilakukan oleh segelintir manusia dinegeri yang mereka perjuangkan ini, kecuali memberi makna dibalik kebisuan batu nisan dan sejarah masa lampau.
Memang sejarah adalah masa lalu, sejarah semata mata adalah kumpulan peristiwa, tetapi bilamana dihayati secara mendalam dibalik peristiwa yang terjadi, terkandung berbagai pesan yang harus dilaksanakan. Pesan pesan tersebut akan menjadi kian berarti oleh karena yang memberi pesan sudah tiada, alias sudah anonim. Artinya kita sedapat mungkin, bahkan harus melaksanakan amanat itu, sebab kepada kitalah tanggung jawab itu dipercayakan.
Mengacu kepada hal hal tsb. diatas untuk memaknai hari Pahlawan 10 dan 20 Nopember 2009 sebagai generasi penerus sudah selayaknya kita intropeksi diri “Apa yang kita telah lakukan sebagai wujud rasa hormat kita padanya ?”
Tentu kita sangat bersedih mendengar informasi yang disampaikan oleh salah seorang pengurus Mada LVRI Bali bahwa hanya Bali saja propinsi yang belum memiliki dan belum mampu mengirim Buku Perjuangan ke Jakarta. Ini merupakan tantangan serius bagi generasi muda terutama generasi pejuang, sebab dampaknya generasi yang akan datang tidak akan mengetahui siapa sesungguhnya yang berjuang disamping dampak lainnya akan memungkinkan munculnya veteran veteran bahkan pahlawan pahlawan baru yang sama sekali tak mengerti tentang heroiknya perjuangan di Bali.
Semoga hal ini mendapat perhatian dari pemerintah daerah karena saat ini untuk menyusun sebuah buku perjuangan memerlukan dana yang tak sedikit apalagi pelaku sejarah tingkat pimpinan yang bisa dimintai konfirmasi sudah tak ada lagi.


Denpasar 10 Nopember 2009.

Tidak ada komentar: